Kamis, 15 April 2010

PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN .

Usmadi Sulaeman

I. PENDAHULUAN

Pembangunan Kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam dan fungsi sosial hutan serta mutu lingkungan hidup. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan adalah bagaimana meningkatkan peran aktif sumberdaya manusianya untuk mencapai kemakmuran. Peran aktif ini dapat ditingkatkan melalui pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki arti penting dalam pembangunan kehutanan dan tidak hanya sebagai obyek dalam pembangunan. Oleh karenanya, pengembangan potensi yang sudah ada di masyarakat sangat diperlukan dengan memperhatikan aspek sosial budayanya.

Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, dengan memiliki dasar kehidupan yang berbeda. Untuk mencapai suatu program pembangunan diperlukan informasi yang dapat menggambarkan adanya pembagian peran kerja antara perempuan dan laki-laki. Dari gambaran ini kemudian akan diketahui pekerjaan mana yang dilakukan oleh perempuan dan mana yang dilakukan laki-laki atau oleh keduanya, dan siapakah yang memperoleh hasil dari pekerjaan tersebut. Dengan mengetahui informasi tersebut dan harapan apa yang ada dalam pikiran mereka maka suatu program pembangunan akan dapat berjalan dengan baik.
Untuk maksud tersebut, diperlukan seperangkat pengetahuan tentang perempuan dan laki-laki, yaitu gender. Gender merupakan konstruksi sosial yang mengatur hubungan perempuan dan laki-laki yang terbentuk melalui proses sosialisasi dalam konteks sosial dan bukan berdasarkan biologis, ekonomis dan politis.
Isu kesetaraan gender dalam dunia kehutanan, telah disinggung dalam dokumen FAO (1996) yang menyatakan bahwa : “ Wanita memainkan peranan
penting dalam berbagai aspek pembangunan hutan. Isu gender harus diberlakukan dengan cara mengidentifikasi proses dan kegiatan-kegiatan spesifik untuk memfasilitasi partisipasi wanita sebagai partner di segala fase kegiatan”.
Dewasa ini telah dipahami bahwa perempuan bukan hanya sebagai pekerja domestik atau pekerja rumah tangga yang dikatagorikan sebagai pekerja bukan produktif, sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Pada umumnya perempuan yang berasal dari keluarga miskin juga berperan produktif dalam menyumbang ekonomi keluarga, yaitu dengan melakukan pekerjaan untuk mendapatkan upah baik secara natura maupun dalam bentuk uang tunai. Perempuan juga mempunyai peran yang berkaitan dengan pengelolaan komunitas, seperti: arisan, jimpitan. Selain itu mempunyai potensi untuk mengembangkan diri, hal ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik, yaitu melalui pengalaman, pengetahuan, permasalahan, kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

II. PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN
KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN .

Perempuan sebagai bagian dari sumberdaya manusia mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan dan kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, dalam pembangunan harus dimulai dari usaha mengintegrasikan perempuan dalam proses pelaksanaannya.
Pembinaan perempuan untuk meningkatkan peran aktif dalam proses pembangunan sesuai dengan kodrat dan martabatnya sejajar laki-laki sudah berhasil menjangkau sebagian besar kaum perempuan. Yang diperlukan sekarang ini adalah peningkatan kualitas dan iklim sosial budaya yang lebih mendukung bagi perempuan untuk mengembangkan diri dan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Dalam usaha peningkatan kedudukan peran perempuan dalam pembangunan yang perlu diperhatikan adalah keaneka-ragaman perempuan Indonesia dalam kebutuhan, kepentingan dan aspirasi mereka.
Menurut Hidayati (1995), ketertinggalan perempuan terhadap laki-laki jika diselusuri lebih lanjut berpangkal pada pembagian pekerjaan secara seksual dalam masyarakat, yaitu peran perempuan yang utama adalah lingkungan rumah tangga dan laki-laki di luar rumah sebagai pencari nafkah utama. Pembagian kerja secara seksual ini jelas tidak adil bagi perempuan pada kedudukan subordinat terhadap laki-laki, sehingga untuk mewujudkan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat mungkin akan sulit terlaksana.
Kaitan peran perempuan dalam pembangunan kehutanan khususnya dalam upaya konservasi sumberdaya hutan, jika ditinjau lebih jauh ternyata memiliki sifat sebagai pemelihara kelestarian yang cocok dengan sifat sifat lingkungan itu sendiri. Peran gender pulalah yang mengakibatkan perempuan memiliki tugas sehari-hari yang sangat erat terkait dengan kelestarian lingkungan sebagai sumber pemenuhan kehidupan keluarga (Raharjo, 1995).
Pembangunan dan konservasi bukan merupakan hal yang saling bertentangan satu sama lain, sehingga sangat ideal jika dalam rangka pembangunan kehutanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak melupakan aspek konservasi atau pelestarian sumberdaya alam. Upaya untuk melakukan konservasi terhadap hutan yang memiliki kemampuan untuk menyediakan makanan dan penghidupan bagi manusia berarti memperpanjang masa hidup umat manusia. Untuk itulah sangat diperlukan peranan masyarakat termasuk perempuan agar proses keberlanjutan hidup manusia dapat berjalan terus menerus.
Shiva (1997) menyatakan bahwa kegiatan perempuan dalam menyediakan pangan perlu dipandang sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena tidak hanya mengkonsumsi tetapi juga membuat sesuatu menjadi tumbuh kembali. Dalam hal ini terjadi interaksi atau hubungan timbal balik antara perempuan dengan alam sebagai suatu bentuk pemahaman bahwa alam lingkungan produktif menyerupai tubuh mereka yang produktif pula. Lebih lanjut dikemukakan bahwa perempuan dan alam bukanlah hubungan yang pasip, namun justru kreatif dalam memelihara kehidupan. Oleh karena itu, bukan sebagai hal yang aneh bila perempuan memiliki kedekatan dengan alam.
Alam merupakan ekspresi kreatif dari prinsip feminin, sehingga kedekatan perempuan dengan alam dalam rangka memelihara kehidupan, melestarikan serta mewujudkan prinsip feminin sesuai dengan sifat alam itu sendiri. Mulyanto (1977) dalam Rahayu(2005), menyatakan bahwa perempuan memiliki fungsi sosial yang lebih dekat dengan nature, karena keterlibatan fungsi reproduksi mereka telah membatasi gerak mereka sendiri untuk terlibat pada fungsi sosial yang lebih dekat dengan alam.
Raharjo (1995) mengutip pernyataan The United Nation, bahwa pembangunan yang lestari baru akan berhasil bila melibatkan partisipasi penuh perempuan. Ada banyak sebab yang membuat perempuan menjadi umat yang relative lebih punya kepekaan ekologis. Secara empiris, di daerah-daerah yang masih cukup steril dari sentuhan modernisasi, para ibu rumah tangga terkondisikan untuk selalu berdekatan dan mengakrabi alam lingkungan dalam sebuah hubungan intens yang lebih hangat ketimbang laki-laki.
Sebagai akibat langsung dari peranan perempuan yang lebih banyak bergerak di area domestic, perempuan adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap suplai makanan, minuman dan kebersihan rumah dan seisinya. Mereka terbiasa untuk kreatif agar kebutuhan bisa terpenuhi selayaknya, dengan atau tanpa suplai keuangan dari para suami. Sehingga para ibu tahu benar bagaimana caranya memanfaatkan potensi yang disediakan alam di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Mereka pun mengerti rusaknya alam sekitar akan mengganggu keberlangsungan hidup keluarga.
Selain terkondisikan akrab dengan alam, perempuan terbekati rahim berasal dari kata Rahmah yang didefinisikan sebagai belas kasih, rasa sayang, rasa kasihan, dan sifat melindungi. Kesemuanya itu sebagai sifat alamiah dari seorang ibu terhadap buah dari rahimnya. Rahim menjadi salah satu organ perempuan yang dianggap sebagai lokus tempat manusia memulai hidup, ruang yang menyediakan tempat dan fasilitas bagi awal mula kehidupan. Itulah sebabnya mengapa sosok ibu seringkali dipersonifikasikan dengan alam semesta.

III. BEBERAPA TOKOH PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN

Pada tahun1988 hadir Ma Eroh seorang perempuan setengah tua berasal dari Tasikmalaya, secara spektakuler pernah mencatatkan namanya dalam sejarah peduli lingkungan. hanya bersenjatakan cangkul dan linggis pendek, seorang diri selama 47 hari memahat bukit cadas liat di timur laut Gunung Galunggung sepanjang 45 meter. Obsesinya sederhana, ingin membuat saluran untuk mengalirkan air dari sungai Cilutung ke kampungnya. Setelah pekerjaannya tuntas, ia berambisi membuat saluran air sepanjang 4,5 kilometer mengitari delapan bukit dengan kemiringan 60-90 derajat. Ma Eroh dengan dibantu sejumlah warga desa mampu menyelesaikan pekerjaannya selama 2,5 tahun dan hasilnya, lahan pertanian di desanya Santana Mekar terairi sepanjang tahun. Kegigihan Ma Eroh ini mendapat penghargaan pemerintah dan setahun kemudian mendapat penghargaan lingkungan dari PBB.
Beberapa tahun berselang di Timika, ketika pemerintah hendak menjual hutan dan sebagian tanah pegunungan yang kaya akan fosfat, dibawah komando Mama Yosephine kaum perempuan disana melakukan protes dan perlawanan. Hasilnya, mereka berhasil mencegah niat pemerintah tersebut.
Khazan Darah tokoh perempuan Islam di Mesir yang konsen terhadap lingkungan. Salah satu perannya adalah membuat sebuah taman yang nyaman untuk bermain dan belajar masyarakat.
Di Kenya, kita mendapat pelajaran dari Wangari Mata, seorang perempuan yang melakukan gerakan menanam kembali pohon-pohon yang hampir punah di seluruh Kenya, yang disebut Greenbelt Movement. Sejak tahun 1970 hingga kini. sebanyak 130 juta pohon telah tertanam, hingga padang gersang berubah menjadi hijau, binatang liar berkembang cepat, bencana kelaparan dan kekeringan berakhir.
Seorang perempuan bernama Amrita Devi, pemimpin gerakan Chipko di India, bersama para ibu lainnya telah menyelamatkan pohon pohon yang dikeramatkan dari penebangan besar-besaran dengan cara memeluk pohon yang akan ditebang. Sebagai seorang ibu mereka tahu betapa sulitnya mendapatkan satu ember air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

IV. PENUTUP

Pelajaran diatas menunjukkan kepada kita, sesungguhnya posisi perempuan sebagai nakhoda wilayah domestic justru memainkan peran yang tak bisa disepelekan. Para ibu mampu menjalin komunikasi dua arah yang intens antara dirinya dengan alam semesta. Sebuah hubungan komunikasi yang tidak hanya berfaedah untuk hari ini, melainkan untuk ribuan tahun ke depan, untuk anak cucu kita nanti.
Masuknya bisnis yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara modern dalam pertanian misalnya, hampir dipastikan akan memakan tumbal komunitas di sekitar eksploitasi alam itu, terutama kaum ibu dan perempuan. Mereka akan kehilangan orientasi, pekerjaan dan pengetahuan yang sebelumnya dikuasai dan akhirnya tidak berarti, sehingga mereka kehilangan akses pada dunia yang sebelumnya menjadi kekuatan mereka. Selain itu, jauh dibawah alam sadar kita, dilihat dari sisi psikologi kesadaran dan kepekaan perempuan untuk merawat dan menjaga alam perlahan-lahan akan terkikis.
Saat ini yang diperlukan adalah mengubah cara pandang kita, dengan meyakini bahwa perempuan terbukti menjadi pihak yang paham benar bagaimana alam mesti dimanfaatkan dan hingga batas mana pemanfaatan itu dimungkinkan. Sehingga perempuan harus dipandang sebagai potensi dalam melindungi dan mengamankan kekayaan sumberdaya alam yang semakin menipis.




DAFTAR PUSTAKA

1. Fakih, Mansour, 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar. Jakarta.

2. Rahardjo, Diah. 1995. Wanita, Lingkungan dan Pembangunan. Pusat Penelitian dan pembangunan Ketenagakerjaan. Jakarta.

3. Rahayu, Lies. 2005. Gender dalam Pembangunan Kehutanan. Petani, Ekonomi dan Konservasi. Debut Press. Yogyakarta.

4. Shiva, Vandana. 1997. Bebas dari Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

2 komentar:

  1. Perempuan jangan disepelekan

    BalasHapus
  2. Menarik untuk disimak, terutama bagi mereka yang kurang memiliki perhatian terhadap kaum perempuan. Tks Kek tulisannya

    BalasHapus