Rabu, 24 November 2010

KEARIFAN LOKAL

Usmadi Sulaeman
I. PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM)
Dalam Kamus Inggris Indonesia, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.(Sartini. 2004).

Menurut Nurma Ali Ridwan (2007), kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Secara substansial, kearifan local adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

Paham filosofis empirisme mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia yang benar adalah pengalaman melalui cara mengumpulkan data dan fakta yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Semua konsep dan ide yang dianggap manusia benar, bersumber dari pengalaman atas suatu obyek yang mampu ditangkap oleh panca indera manusia. Pengetahuan yang pasti benar dan sejati adalah pengetahuan indrawi, yaitu pengetahuan empiris (Keraf dan Dua, 2001 dalam San Afri Awang 2009).

Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan (Sartini. 2004)

Saini KM. (2005) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya-tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas itu berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu cara memetakan kearifan lokal dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tiga ranah (domain) tempat kearifan lokal itu berlaku. Ranah pertama adalah hubungan antara manusia dengan manusia; kedua, hubungan manusia dengan alam; dan ketiga hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta.

Hubungan antara pribadi dengan pribadi, di samping terungkap dalam perilaku pergaulan sehari-hari dalam komunitas, juga di dalam ungkapan-ungkapan bahasa dan sastra.Contoh hubungan manusia dengan alam dengan jelas diperlihatkan oleh komunitas adat Sunda, misalnya komunitas Baduy, Pancer Pangawinan, Kampung Naga, dan sebagainya. Merekalah yang berhasil melakukan pemuliaan terhadap lingkungan hingga tak menghadapi masalah yang merongrong komunitas-komunitas lain yang sudah meninggalkan adat. Perilaku yang memperlihatkan penghormatan kepada alam ini datang dari sikap masyarakat “tradisional” umumnya.Hubungan manusia dengan Tuhan tidak semata-mata diungkapkan dalam perilaku komunitas-komunitas itu, melainkan juga dalam ungkapan, seperti yang kita baca dalam buku Sang Hiang Siksa Kanda Ng Karesian (Terbit abad XVI), yaitu Tapa di nagara (Bertapa di tengah-tengah kehidupan sehari-hari). Bagi anggota komunitas tradisional, hidup itu sendiri adalah bertapa (ibadah). Hidup adalah menyucikan diri agar layak berhadapan dengan Tuhan Yang Maha suci. Bimbingan untuk hidup suci juga terkandung dalam sastra Sunda-lama, misalnya sastra pantun. Tokoh-tokoh seperti Mundinglaya, Purbasari, Ciungwanara adalah pahlawan budaya (culture heroes) yang memperjuangkan kesucian hidup itu.

II. WUJUD DAN BENTUK KEARIFAN LOKAL

Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.

Bentuk kearifan lokal yang bisa kita lihat, misalnya bagaimana masyarakat lokal mengelola hutan. Bagi masyarakat, hutan dan segala isinya bukanlah hanya sekadar komoditi dari segi ekonomi saja, melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan, dimana hutan memiliki nilai magis dan kepercayaan yang mereka pegang teguh. Oleh karena itu pemanfaatan hutan tidak didasari oleh keinginan-keinginan eksploitatif tetapi lebih didasarkan pada usaha-usaha memelihara keseimbangan dan kelestarian sumberdaya hutan. Contoh-contoh yang bisa kita lihat antara lain :

a Pengelolaan Kebun Kemenyan di Tapanuli Utara: Hutan kemenyan sudah diusahakan sejak abad ke-17 dan sampai tahun 1994 luasnya sudah mencapai 10.000 ha (LATIN, 1994 dalam Sartini, 2004). Selain menghasilkan getah kemenyan dihasilkan juga buah-buahan. Hasil dari getah kemenyan ini menjadi sumber pendapatan yang penting bagi pengelolaanya sehingga keberadaannya terus berlanjut sampai sekarang.

b.Pengelolaan Kebun Damar di Krui Lampung Barat: Masyarakat telah mengelolaa kebun damar dalam bentuk Agroforestry sejak seratus tahun yang lalu. Dalam kebun damar ini tumbuh tanaman utama berupa pohon damar yang menghasilkan getah damar mata kucing. Disamping itu juga tumbuh jenis-jenis lain seperti pohon penghasil buah-buahan, tanaman obat, tumbuhan bawah, bahkan berkembang jenis-jenis satwa layaknya di hutan alam. Dan sampai kini pengembangannya terus berlanjut.

c.Kegiatan Perladangan masyarakat Dayak di Kalimantan Timur: Mereka memiliki pengetahuan dan teknologi berladang yang tidak merusak lingkungan. Kawasan hutan yang dibuka hanya sebatas kawasan adat mereka. Setiap peladang yang akan membuka hutan selalu menyisakan areal hutan di sekeliling ladangnya yang berfungsi sebagai pagar untuk mencegah erosi tanah. Begitu juga ketika ladang hendak ditinggalkan, mereka tidak pernah meninggalkan begitu saja, melainkan ditanami pohon buah-buahan, karet, rotan, dan tanaman palawija. Sehingga kelak, setelah sekian tahun ke depan bekas ladang tersebut telah menjadi ladang yang subur kembali.

d.Pengelolaan Sumberdaya Alam masyarakat Baduy di Banten. Sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam. Bagi orang-orang Baduy, mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan, dosanya jauh lebih tinggi daripada dosa membunuh sesama manusia. Bagi orang Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, menjaga alam merupakan kewajiban dan tiang dasar agamanya, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan dengan penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam pegangannya: Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung. Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air, pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. (Ignas Triyono, 2010)

III. MEMBANGUN DENGAN KEARIFAN LOKAL

Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal), umumnya memiliki pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam pemanfaatannya yang dikembangkan secara turun-temurun.Oding Affandi (2010) menyatakan bahwa, pada dasarnya kearifan tradisional merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan bisa mencakup generasi yang berbeda. Kearifan tradisional ini merupakan sumberdaya yang berharga untuk kegiatan-kegiatan pembangunan karena ia merupakan:
a.Dasar kemandirian dan keswadayaan.
b.Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan
c.Menjamin daya hidup dan keberlanjutan.
d.Mendorong penggunaan teknologi tepat guna.
e.Menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya.
f.Memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan pembangunan yang sesuai..

DAFTAR PUSTAKA

•Ignas Triyono. 2010. Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy. Pemenang Terbaik Kategori Umum. Lomba Opini Hutan Lindung, PP 02/2008 & Keselamatan Rakyat. http://www.jatam.org

•Nurma Ali Ridwan. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda` | Vol. 5 | No. 1 | Jan-Jun 2007 |27-38 P3M STAIN Purwokerto

•Oding Affandi. 2010. Perspektif Sosiologis Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Pembangunan Kehutanan. http://fkkm.org/web/artikel/perspektif-sosiologis-pelibatan-masyarakat-lokal-d/

•Oszaer. R. 2007. Pembangunan Hutan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat. Panitia Implementasi Program NFP-FAO Regional Maluku & Maluku Utara

•Saini KM. 2005. Kearifan Lokal Diarus Global (1) (Pikiran Rakyat, 30 Juli 2005, http://www.pikiran rakyat.com/cetak/2005/0705/30/khazanah/lainnya01.htm)

•San Afri Awang . 2009. Deforestasi dan Konstrusi Pengetahuan Hutan Berbasis Masyarakat. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Social Forestry (Kehutanan Sosial) Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

•Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2 Fakultas Filsafat UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar