Sabtu, 12 Juni 2010

POTRET KECIL DI TEPI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI


Usmadi Sulaeman

Selasa, 8 April 2008.

Kami bertiga saya, Avo (LSM Akar) dan Tessa (Volunteer asal Belanda) mengunjungi Dusun Palutungan Desa Cisantana, sebuah perkampungan yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)
Saat langkah kaki menginjak perbatasan kawasan TNGC, disela sela deru knalpot motor yang mengangkut hasil panen tanaman Wortel, sayup terdengar suara lirih: Aya keneh nu ngamumule leuweung kuring teh? Suara siapa gerangan? Rasa keingintahuan kami telah mendorong kaki ini untuk melangkah lebih jauh. Oh...apa yang terlihat disana? Pesona alam Ciremai yang selalu kita banggakan kah?

Memasuki kelompok pohon Pinus yang telah mengering, tunggul, batang Pinus yang berserakan, terhampar kebun sayuran (wortel, bawang daun) yang subur, sementara disisi lain para petani sibuk menggarap lahan, dengan tidak lupa meyapa kami dengan ramahnya.... Kami tertegun sejenak , tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami dan kami hanya mampu untuk saling menatap, Dimanakah kami ? Di kebun sayuran kah ?

Avo duduk diatas tunggul pinus, sementara asap rokok terus mengepul di sela-sela bibirnya, Tessa berjalan berkeliling sambil terus bertanya dengan bahasa yang sulit kami mengerti... Berderailah tawa kami mentertawakan kebodohan kami berkomunikasi.

Saya mecoba merangkum pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir kami :
1. Mengapa sejak ditetapkan kawasan hutan G.Ciremai menjadi Taman Nasional kerusakan hutan semakin meluas ?
2. Apakah Petugas BTNGC belum tahu kondisi TNGC akhir-akhir ini ?
3. Apakah setelah ditinggalkan Perhutani, masyarakat sekitar hutan menganggap hutan G. Ciremai tidak bertuan?

Tak terasa kabut tebal telah menyelimuti kami, dinginnya menusuk tulang.... saat itu kami putuskan untuk pulang.

Di persimpangan jalur pendakian, kami bertemu 2 (dua) orang petugas Balai TNGC. Di sebuah warung yang menyediakan makanan ringan bagi pendaki gunung, sambil menghirup kopi panas, kami bersama kedua petugas tersebut menyempatkan untuk berbincang... Avo dan Tessa asyik berdiskusi dengan kedua petugas tersebut disertai pemilik warung. Sementara saya hanya bisa diam, mendengarkan jawaban/alasan yang merupakan copy paste dari hampir semua petugas BTNGC yang pernah kami temui :

 Rencana Pengelolaan TNGC belum disyahkan Menteri Kehutanan.
 Tata batas kawasan belum dilaksanakan.
 SDM dan fasilitas lainnya belum memadai.

Jawaban yang sulit diterima sebagai suatu alasan untuk mengorbankan kelestarian hutan di kawasan TNGC.

Kembali saya mengingat masa lalu, ditetapkannya kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional dimaksudkan bahwa dengan sistem pengelolaan Taman Nasional diharapkan mampu untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari. Namun dibalik itu semua telah disadari pula bahwa ditetapkannya suatu kawasan menjadi kawasan konservasi akan menimbulkan polemik berupa konflik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan, yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat desa sekitar hutan, dalam bentuk persaingan antara kepentingan sosial ekonomi masyarakat dengan kepentingan konservasi.
Kenyataannya di dusun Palutungan, konflik seperti ini tidak terjadi, malahan sebaliknya masyarakat semakin memperluas kebun sayurnya !!! Apa kolaborasinya telah berjalan baik atau apakah ada hal lain... ???

Matahari telah beranjak ke balik puncak Ciremai,kami bertiga pamit....
Kembali sayup terdengar suara lirih: Aya keneh nu ngamumule leuweung kuring teh? Saya sempatkan untuk berpaling ke arah puncak Ciremai dan hanya hati kecil yang bisa bicara : Don’t cry Ciremai.........



Minggu, 20 April 2008,

Kembali kami bertiga (Dudi, Avo dan Tessa) berkunjung ke Dusun Palutungan Desa Cisantana, kali ini memenuhi janji untuk bertemu dengan perwakilan penduduk dusun tersebut yang bertempat di rumah Kepala Dusun.
Kami berangkat bersama-sama dari markas AKAR sekitar pukul 16.00, diiringi rintik hujan dan kabut menyelimuti kami (tiris euy .......!!!). Kedatangan kami bertiga disambut dengan ramah, sebagaimana layaknya sambutan penduduk di pedesaan.
Di sela-sela kepulan asap rokok berbagai merk yang masih asing bagi kami memenuhi ruang tamu, tentunya disertai kopi panas, kami berbincang sekitar masalah pemanfaatan lahan di kawasan TNGC. Avo sibuk menulis dan menggambar denah lokasi penggarapan lahan di kawasan TNGC sebagaimana diungkapkan peserta pertemuan, demikian pula Tessa sibuk menulis sambil sesekali bertanya bahasa daerah yang baru dia dengar...

Beberapa hal yang dapat kami catat dalam pertemuan tersebut :

1. Luas garapan dalam kawasan hutan berkisar 0.2 – 0,5 ha/kk untuk budidaya sayuran selama 1 musim (2 s/d 3 kali panen).
2. Mayoritas (85%) penduduk Palutungan sebagai penggarap di kawasan hutan dan tidak memiliki lahan.
3. Sebagian besar masyarakat desa sekitar hutan belum memahami potensi sumberdaya hutan selain lahan yang dapat dikembangkan sebagai suatu usaha.
4. Potensi yang dimiliki masyarakat dan agroklimat setempat belum tergali secara optimal dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tak terasa hari mulai menjelang malam, jam menunjukkan pukul 19.00 dan hujan sudah mulai reda.... Kami pamit pulang, kembali sayup terdengar suara lirih: Aya keneh nu ngamumule leuweung kuring teh? Saya sempatkan untuk berpaling ke arah puncak Ciremai dan seperti hari kemarin, hanya hati kecil yang bisa bicara : Don’t cry Ciremai.....

2 komentar:

  1. Catatan perjalanan yang menarik, tampilkan kondisi desa di tepi TNGC lainnya Kek ....

    BalasHapus
  2. Bisa gak ya, peraturan berjalan berdampingan dengan realitas di desa sekitar hutan???

    BalasHapus